DEFENSIF DI TENGAH
CORONA
Bahwa saat ini kondisi perekonomian global masih terus dibayangi dengan
ketidakpastian. Lembaga keuangan dunia Dana Moneter Internasional (IMF) telah memangkas
proyeksi angka pertumbuhan global periode tahun 2020 menjadi hanya sebesar 3,3% saja.
Sebabnya yaitu; perang dagang antara Amerika Serikat dan China, ditambah adanya
perang harga minyak mentah antara Arab Saudi dan Rusia, serta yang terkini
adalah pandemic virus corona (COVID-19) di seluruh dunia. Meski Amerika Serikat
dan China telah menandatangani kesepakatan dagang pada pertengahan Januari 2020
yang lalu, tetapi perang dagang antara kedua Negara
kekuatan ekonomi dunia tersebut belum sepenuhnya reda. Pelaku pasar masih
mencermati realisasi atas kesepakatan dagang diantara keduanya.
Sementara itu perang harga minyak mentah antara Arab Saudi dan Rusia telah membuat
harga minyak mentah dunia mengalami kejatuhan terendah dalam beberapa dekade
terakhir. Kemudian yang tidak kalah “ganas”, yaitu pandemic virus corona (COVID-19),
juga 'menginfeksi' pasar di seluruh dunia. Penyebaran wabah virus mematikan ini
telah mengganggu aktivitas perekonomian global. Bagaimana tidak, saat ini banyak kota di dunia
menutup diri, kegiatan industry terhenti, bahkan beberapa industry diantaranya telah tutup
dan melakukan pemutusan hubungan kerja, kegiatan eksport-impor tergganggu, yang
kesemuanya itu akan membuat pertumbuhan ekonomi global terkoreksi. COVID-19
telah berefek langsung dan telah benar-benar merusak kondisi fundamental
perekonomian global. Akibatnya, dengan kondisi yang tidak menentu tersebut, pasar domestik,
regional, maupun global mengalami volatile yang ekstrim.
gambar; andirerei.com |
Bahwa saat ini ada sekitar tujuh ratus dua
belas emiten atau perusahaan berstatus Terbuka yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia (BEI) yang saham-sahamnya diperjualbelikan pada setiap hari bursa. Berbagai
perusahaan tersebut dikelompokan ke dalam sembilan sektor industry yaitu; pertanian,
pertambangan, industri dasar, aneka industri, barang konsumsi, properti dan
konstruksi, infrastruktur, keuangan, perdagangan dan jasa. Penyebaran wabah
COVID-19 yang membuat kondisi perkonomian penuh ketidakpastian tentu saja akan mempengaruhi
kinerja usaha masing-masing sektor industry, baik pada saat ini maupun untuk
beberapa waktu ke depan, yang pada akhirnya akan berkorelasi dengan terjadinya
penurunan harga saham perusahaan yang ada di dalamnya.
Pengaruh buruk tersebut tampak nyata dengan anjloknya Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) dari level Rp6.000an ke level Rp3.900an dalam tiga bulan
terkahir di awal tahun 2020. Harga-harga saham di seluruh sector di BEI mengalami
penurunan yang signifikan. Artinya para pelaku pasar sedang pesimis memandang
kondisi perekonomian yang sedang dan akan terjadi, pesimis dengan prospek
pertumbuhan ekonomi domestic maupun global, sehingga untuk sementara mereka
menarik sebagian besar dananya dari bursa saham.
Hal tersebut bisa difahami karena memang kegiatan operasional sebagian besar
sector industry saat ini sedang tidak normal. Sebut saja misalnya sektor
keuangan (perbankan). Penyaluran kredit oleh bank menjadi mandek, karena
kegiatan usaha debitur di sector lainnya sedang terhenti. Belum lagi ada resiko
kredit macet atas sejumlah dana pinjaman yang telah digelontorkan sebelumnya. Begitu juga dengan sector pertanian yang basis produknya crude
palm oil (CPO) yang pasar eksportnya China dan India, di mana kedua negara
tersebut ekonominya kini mandek karena industrinya sedang terhenti akibat serangan
COVID-19. Akibatnya permintaan CPO turun drastis.
Pada sector pertambangan, dengan penyebaran wabah
COVID-19 di China dan India yang begitu meluas, membuat industry di kedua negara
menghentikan kegiatannya, padahal kedua Negara tersebut merupakan importir
besar batubara dunia. Dengan kondisi demikian maka sector pertambangan sangat terpengaruh,
dan produsen batubara di tanah air tentu saja kena dampaknya. Sector industry
dasar pun demikian, proyek pembangunan infrastruktur dan utilitas untuk sementara
dihentikan, oleh karena itu industry pengolahan logam, keramik, semen, pemasarannya
terganggu. Belum lagi jika produknya yang terkait dengan kebutuhan bahan baku sektor
property yang kondisinya makin lesu misalnya semen dan besi/baja volume
pemasarannya dapat dipastikan menurun.
Dalam kondisi ekonomi
yang sulit seperti saat ini, tentu saja masyarakat lebih mendahulukan pemenuhan
kebutuhan primer dibanding kebutuhan sekunder, oleh karena itu produsen pada
sector aneka industry misalnya otomotif dan
komponennya, juga elektonik,
pasti akan terdampak. Volume penjualan produknya dipastikan
menurun. Begitu pun sector industry property, dipastikan menurun, karena
masyarakat lebih mendahulukan belanja kebutuhan hidup sehari-hari dibanding
misalnya membeli rumah. Oleh karena itu produsen pada sector ini dipastikan
mengalami penurunan kinerja usahanya.
Dalam upaya mencegah penyebaran pandemic
COVID-19 makin meluas, Pemerintah telah merealokasi Anggaran dan Pendapatan
Belanja Negara (APBN) dengan memindahkan alokasi sebagian anggaran pembangunan
infrastruktur menjadi anggaran untuk penanganan wabah COVID-19. Oleh karena itu
kinerja sector infrastruktur ini pasti akan terkoreksi. Begitu juga pada sector
perdagangan, wabah COVID-19 telah membuat kegiatan ekspor-impor barang dan
distribusinya terganggu. Setali tiga uang, sub sektor pariwisata dan perhotelan
pun demikian. Dengan adanya kekhawatiran orang terpapar COVID-19, perjalanan
wisata dan kegiatan lain di luar rumah tidak dilakukan, maka kinerja perusahaan
pada sector ini dipastikan anjlok.
Fundamental delapan sector industry di BEI tersebut di atas telah
terganggu dan dan diprediksi akan menurunkan kinerja perusahaan-perusahaan yang
ada di dalamnya. Butuh waktu untuk pemulihan (recovery) kembali ke kondisi
normal seperti sebelum meluasnya wabah COVID-19. Namun demikian ada satu sector
industry yang masih akan tetap mencatatkan kinerja usaha yang positif di
tengah-tengah lesunya perekonomian saat ini, yaitu sector konsumsi. Pada
kondisi yang terjadi sekarang, masyarakat akan mengenyampingkan belanja
kebutuhan yang tidak mendesak misalnya membeli kendaraan atau membeli rumah,
tetapi tidak bisa mengenyampingkan kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat
harus tetap makan dan minum. Oleh karena itu perusahaan yang bergerak dalam
bidang makanan, minuman, toiletris, atau obat-obatan, produknya akan tetap
dibeli masyarakat.
Fakta lain menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini sebagian besar ditopang
oleh konsumsi masyarakat. Maka tidak heran, jika perusahaan-perusahaan di sektor
ini tergolong defensive dalam kondisi apa pun. Perusahaan-perusahaan pada sektor konsumsi ini diuntungkan dengan jumlah penduduk
Indonesia yang sangat banyak sebagai konsumen. Kondisi fundamental perusahaan
di sector konsumsi ini akan tetap terjaga, dan akan lebih baik daripada
fundamental delapan sector industry lainnya.
Dengan guncangan ekonomi seperti sekarang, bukan tidak mungkin harga saham-saham
sector ini juga ikut turun (terdiskon). Namun, secara fundamental kinerja
usahanya akan tetap bagus. Perusahaan semacam PT. Unilver Indonesia Tbk (UNVR),
PT. Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT. Indofood Sukses Makmur Tbk
(INDF), PT. Mayora Indah Tbk (MYOR), PT. Kalbe Farma Tbk (KLBF), dan PT. Kimia
Farma Tbk (KAEF), meskipun di tengah-tengah penyebaran pandemic wabah COVID-19
volume penjualannya akan tetap terjaga dan akan mencatatkan kinerja usaha yang
positif. Pada saatnya ketika kondisi pasar mulai berbalik arah membaik dan
kemudian pulih, harga saham-saham perusahaan di sector defensif ini akan naik
lebih cepat.
0 komentar
EmoticonEmoticon