RASIO LABA BERSIH TERHADAP EKUITAS DAN ATAU ASET
PERUSAHAAN
Laba bersih
(Net Profit) adalah selisih lebih pendapatan usaha atas seluruh modal yang
digunakan dalam periode tertentu setelah dikurangi beban pokok usaha dan pajak
penghasilan. Berbeda dengan laba kotor (laba usaha) yang masih dibebani dengan
beban pajak penghasilan, maka laba bersih tidak lagi dibebani dengan kewajiban
lainnya. Laba bersih sepenuhnya menjadi hak para pemegang saham.
Rasio
laba bersih yang diperoleh perusahaan terhadap modal bersih (ekuitas) yang
dimiliki perusahaan dalam periode tertentu yang populer dengan sebutan Return On Equity (ROE). ROE biasa digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan
dalam memperoleh laba bersih dengan menggunakan modal usaha tertentu yang berasal
dari investasi para pemegang saham. ROE biasanya dinyatakan dalam satuan persen
dengan rumus perhitungan sebagai berikut :
Return On Equity = (Laba Bersih
/ Ekuitas) X 100%.
Pada akhir tahun 2018 ekuitas PT. Unilever Indonesia Tbk (UNVR) sebesar Rp7,58
triliyun, liabilitas (utang/kewajiban) sebesar Rp11,94 triliyun, sehingga aset (ekuitas
+ liabilitas) adalah sebesar (Rp7,58 triliyun + Rp11,94 triliyun) = Rp19,52
triliyun. Laba bersih yang diperoleh sebesar Rp9,11 triliyun, maka ROE UNVR pada
periode tersebut adalah (Rp9,11 trilyun / Rp7,58 triliyun X 100%) = 120,18%.
Gambar : google image |
ROE yang tinggi mencerminkan tingginya efektifitas dan
efisiensi penggunaan ekuitas perusahaan dalam menghasilkan laba, dan sebaliknya ROE yang rendah mencerminkan rendahnya
efektifitas dan efisiensi penggunaan ekuitas perusahaan dalam
menghasilkan laba.
Dalam pengambilan keputusan investasi, ROE merupakan salah satu rasio
keuangan yang mesti dicermati oleh para investor. Dapatkan rata-rata ROE selama
beberapa tahun, misalnya 5 tahun atau bahkan 10 tahun terakhir. Dengan rentang
waktu yang lebih panjang akan didapatkan informasi pertumbuhan perusahaan
secara lebih mendekati kenyataannya.
Meskipun kenaikan ROE dalam rentang waktu tersebut bukan jaminan bahwa
perusahaan akan terus tumbuh dalam skala yang sama, namun setidaknya dari
informasi ini akan dapat diketahui rata-rata pertumbuhan laba bersih perusahaan
sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi.
Namun
demikian ROE memiliki kelemahan karena dalam perhitungannya tidak menggunakan
jumlah hutang, sehingga kurang mencerminkan kinerja usaha suatu perusahaan secara
lebih komprehensif. Oleh karena itu selain ROE, para investor perlu juga
mempertimbangkan rasio laba bersih terhadap aset perusahaan yang populer dengan
sebutan Return On Asset (ROA).
Dalam perhitungan ROA, laba bersih yang diperoleh perusahaan dibandingkan
dengan seluruh aset yang dimilikinya. Oleh karena dalam perhitungan ROA memasukan
jumlah hutang perusahaan, maka dapat tergambar kemampuan perusahaan dalam memperoleh
laba bersih dengan menggunakan seluruh kekayaan (aset) yang dimilikinya. ROA
biasanya dinyatakan dalam satuan persen dengan rumus perhitungan sebagai
berikut :
Return On Asset = (Laba Bersih
/ Aset) X 100%.
Dalam contoh di atas, aset UNVR sebesar Rp19,52 triliyun, dan laba bersih yang
diperoleh sebesar Rp9,11 triliyun, maka ROA UNVR pada periode tersebut adalah (Rp9,11
trilyun / Rp19,52 triliyun X 100%) = 46,67%.
Dari dua rasio perhitungan di atas bahwa ROE sebesar
120,18% sedangkan ROA hanya sebesar 46,67%. Dengan demikian laba bersih yang
diperoleh UNVR mencapai 120,18% dari jumlah ekuitasnya, namun hanya mencapai
sebesar 46,67% saja dari jumlah asetnya, artinya ada hutang yang digunakan UNVR
dalam kegiatan usahanya.
Adanya penggunaan modal yang berasal
dari hutang tersebut tentu akan mempengaruhi perolehan laba bersih di
tahun-tahun berikutnya karena perusahaan punya beban pembayaran untuk melunasi
hutangnya, dan hal tersebut akan mengurang perolehan laba bersihnya. Oleh karena
itu, para investor mesti kembali melihat jenis hutang perusahaan.
Apakah hutang tersebut hutang jangka
panjang atau hutang jangka pendek (hutang lancar), apakah hutang tersebut
diperoleh dari pinjaman bank atau dari penerbitan surat hutang (obligasi), atau
hanya hutang usaha kepada pemasok (vendor), atau hutang akibat dari
pendapatan diterima di muka (uang muka kerja).
Jika ternyata hutang jangka panjang
lebih besar daripada hutang jangka pendek, kondisi tersebut kurang sehat.
Hutang jangka panjang biasanya diperoleh dari pinjaman bank atau dari penerbitan
surat hutang (obligasi). Perusahaan akan terus menanggung kewajiban pembayaran angsuran
pokok dan bunga pinjaman sampai hutangnya lunas. Kondisi tersebut akan menekan
laba bersih yang diperoleh perusahaan atau dapat mengganggu likuiditas di masa
yang akan datang.
Namun jika ternyata hutang tersebut
hanya hutang jangka pendek atau hanya hutang usaha kepada pemasok (vendor) atau
hutang akibat dari pendapatan diterima di muka (uang muka kerja), maka dapat dikatakan bahwa hutang
tersebut tergolong sehat. Hutang tersebut terjadi dalam suatu proses produksi,
misalnya hutang kepada pemasok bahan baku, atau hutang akibat penerimaan uang
muka dari pemesan barang, maka hutang tersebut segera lunas pada saat barang
yang diproduksi oleh perusahaan telah habis terjual, atau pada saat produk yang
dihasilkan telah diserahterimakan kepada pemberi kerja.
Jenis hutang tersebut di
atas tidak berpotensi membuat perusahaan “sakit” di masa yang akan datang,
melainkan hanya berupa hutang lancar yang memang lazim terjadi dalam suatu
proses produksi.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.
0 komentar
EmoticonEmoticon