MENGUKUR KINERJA
INVESTASI SAHAM
Kapitalisasi pasar (market capital)
Bursa Efek Indonesia (BEI) pada posisi hari terakhir bursa di tahun 2018 (tanggal
28 Desember 2018) sebesar Rp7.043,28 triliyun. Jumlah tersebut merupakan nilai
pasar dari 600 lebih perusahaan terbuka (emiten) yang terdaftar di BEI. Rata-rata
harga saham sebagaimana tercermin dalam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
yaitu Rp6.194,50.
Data pada PT. Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI) - lembaga yang menyimpan dan mencatat lalu lintas (perpindahan)
saham di BEI - menunjukan bahwa investor (juga trader) di BEI
kini mencapai sekitar 830.000 orang. Jumlah tersebut tidak sampai 1%
(satu persen) dari seluruh jumlah penduduk Indonesia yang saat ini diperkirakan
sekitar 260 juta orang.
Bahwa meski nilai kapitalisasi pasar di
BEI besarnya hampir tiga kali Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN),
namun rupanya investasi dengan membeli perusahaan (Tbk) masih hanya dilakukan
oleh sebagian kecil masyarakat di Indonesia.
Dan karena itu pula kita ukur
kinerja investasi di perusahaan Tbk yang terdaftar di BEI, seberapa layak untuk
dijadikan tempat berinvestasi. Tentu saja dengan melakukan berbagai perhitungan
data capaian kinerja emiten dalam bentuk angka-angka.
Pak Hendri (sebut saja demikian
namanya) pada 11 Januari 2016 membeli sebagian kepemilikan PT. Ekadharma
International Tbk (EKAD), produsen pita perekat (lakban) merk Daimaru, Superfix,
Ekatape, Bestpack, yang pabriknya berlokasi di Tangerang-Banten. Pak Hendri
membelinya pada harga Rp400,00 per lembar sebanyak 2.500.000 lembar saham dengan
dana yang dikeluarkan Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) - di luar biaya
transaksi beli yang dipungut oleh perusahaan sekuritas.
Berdasarkan laporan keuangan tahun buku
2015, aset EKAD Rp389.691.595.500,00 tediri dari ekuitas (modal bersih) Rp291.961.416.611,00
dan liabilitas (kewajiban/utang) Rp97.730.178.889,00. Dengan ekuitas sebesar
itu maka nilai buku (book value) setiap lembar saham EKAD Rp417,82. EKAD
melakukan revaluasi aset tetap yang dimiliknya dan memperoleh surplus
Rp219.239.964.861,00 sehingga ekuitas EKAD menjadi Rp511.201.381.472,00, oleh
karena itu nilai buku per lembar saham yang merupakan kekayaan bersih EKAD
menjadi sebesar Rp731,57.
Pada harga pembelian Rp400,00 per
lembar saham, maka Pak Hendri membeli EKAD dengan harga yang murah, hanya 0,55
kali dari harga yang seharusnya Rp731,57. Dengan kata lain Pak Hendri langsung memperoleh
keuntungan sebesar 0,45% dari ekuitas setiap lembar saham EKAD atau setara 82,89% dari
modal Rp400,00 yang dikeluarkannya. Bagaimana tidak, Pak Hendri seharusnya
mengeluarkan dana sebesar Rp731,57 untuk mendapatkan satu lembar saham EKAD,
namun yang dikeluarkannya hanya sebesar Rp400,00.
Jumlah saham beredar EKAD sebanyak
698.775.000 lembar, maka kepemilikan Pak Hendri atas EKAD setara dengan 0,36%
(nol koma tiga enam persen). Namun meski kepemilikannya tidak sampai 1% (satu
persen) Pak Hendri begitu percaya diri sebagai pemilik EKAD. Pak Hendri yakin bahwa bidang bisnis EKAD masih minim kompetitor sehingga EKAD bisa berkembang
dengan leluasa dan pada akhirnya bisa mendapatkan laba yang besar.
Perhitungan Pak Hendri pada saat
membeli saham EKAD di awal bulan Januari 2016 tidak meleset. Bahwa kinerja EKAD
pada periode bulan Januari 2016 sampai dengan kuartal III tahun 2018 (bulan
September 2018) ternyata cukup bagus. Bagaimana dengan kinerja investasi Pak Hendri di
EKAD setelah berjalan selama 2 tahun 9 bulan?. Berapa return investasi yang
diperoleh pak Hendri? Mari kita hitung;
Berdasarkan laporan keuangan EKAD tahun
2016, tahun 2017 dan tahun 2018 (sampai dengan bulan September 2018), laba
bersih yang diperoleh EKAD dalam rentang waktu tersebut sebesar Rp232.135.208.816,00
dengan rincian tahun 2016 sebesar Rp87.814.993.495,00, tahun 2017 sebesar Rp75.355.059.010,00
dan tahun 2018 sebesar Rp68.965.157.311,00. Artinya laba bersih per lembar saham (earning
per share) atau EPS yang diraih EKAD selama 2 tahun 9 bulan sebesar Rp332,20. Laba
bersih sebesar Rp332,20 per lembar saham tersebut adalah hak mutlak para
pemilik EKAD (para pemegang saham).
Dengan raihan EPS Rp332,20 tersebut,
maka rasio laba bersih terhadap ekuitas (dalam hal ini ekuitas awal
Januari 2016) yang diraih EKAD sebesar 45,41% atau setara dengan 16,51% per
tahun. Return on Equity (RoE) EKAD tersebut lebih tinggi daripada return bunga simpanan
deposito atau obligasi yang besaranya sekitar 5%-8% per tahun.
Berbeda dengan kinerja EKAD, kinerja
investasi Pak Hendri ternyata lebih bagus daripada EKAD-nya sendiri. Dengan
modal Rp400,00 per lembar saham, Pak Hendri mendapatkan Rp332,20 per lembar
saham. Return on Equity (RoE) yang diraihnya setara dengan 83,05% atau jika
dirata-ratakan sebesar 30,20% per tahun. Jauh di atas return simpanan deposito
atau obligasi. Dengan modal Rp1.000.000.000,00 Pak Hendri mendapatkan keuntungan
Rp830.507.705,68 dalam rentang waktu selama 2 tahun 9 bulan. RoE yang diraih
Pak Hendri lebih tinggi daripada RoE-nya EKAD karena Pak Hendri membeli EKAD dengan harga terdiskon
(lebih murah) dari yang seharusnya.
Laba bersih yang dibagikan sebagai
dividen tunai pada periode tersebut sebesar Rp34,00 per lembar saham, yang berasal dari laba
bersih tahun 2016 sebesar Rp16 per lembar dan tahun 2017 sebesar Rp18 per lebar. Dengan besaran dividen
tunai yag diterima oleh Pak Hendri hanya sebesar itu, yield dividen tersebut terbilang
kecil, tahun 2016 hanya sebesar 4,00% dan tahun 2017 sebesar 4,50%. total dividen
yang diterima oleh Pak Hendri hanya sebesar Rp85.000.000,00 (delapan puluh lima juta rupiah) dari total laba
bersih yang didapatkannya sebesar Rp830.507.705,68 tersebut di atas. Terus sisanya
sebesar Rp745.507.705,68 ke mana? Menjadi milik siapa? Tentu saja sisanya
tersebut tetap menjadi milik Pak Hendri.
Perlu diingat bahwa dividen yang tidak (belum)
dibagikan itu tetap menjadi milik para pemegang saham yang dialokasikan sebagai
laba ditahan di perusahaan. Laba ditahan tersebut nantinya digunakan untuk
membiayai operasional perusahaan dalam pencapaian laba yang lebih besar lagi di masa depan,
untuk melunasi utang perusahaan, untuk cadangan investasi/ekspansi perusahaan
supaya tumbuh lebih besar lagi di masa depan. Jika di masa depan EKAD tumbuh besar
dan bagus serta menghasilkan laba bersih yang juga lebih besar, maka yang akan mendapat manfaat (diuntungkan) adalah para pemilik EKAD juga (para pemegang saham).
Seandaianya laba bersih yang diraih
EKAD setiap tahun dibagikan seluruhnya kepada pemegang saham, maka EKAD akan sulit
tumbuh karena modal usahanya hanya akan sebesar itu-itu saja, tidak ada modal
tambahan baru untuk pengembangan usaha. bisnis EKAD akan stagnan. Bisa saja modal tambahan baru
didapatkan dari berutang (utang lagi), tapi kondisi tersebut tidak sehat, yang
hanya akan memperbesar jumlah utang perusahaan, yang bisa mengakibatkan
perusahaan kolaps karena tidak mampu bayar utang. Jika hal itu terjadi yang menanggung
akibatnya (yang dirugikan) adalah pemiilik EKAD juga (para pemegang saham).
Dengan laba bersih yang masih ditahan
di perusahaan, EKAD akan lebih leluasa berekspansi dan mengembangkan usahanya. Sampai
suatu saat nanti EKAD sudah tumbuh begitu besar dengan omzet usaha dan keuntungan
yang diraihnya besar juga sehingga tidak perlu tambahan modal baru, maka seluruh
laba bersih yang diraihnya (100%) dapat dibagikan sebagai dividen tunai kepada seluruh
pemilik EKAD (pemegang saham).
Oleh karena itu, agak kurang tepat jika
menafsirkan bahwa yield dividen tunai yang hanya sebesar 2%-3% yang diterima oleh
para pemegang saham sebagai ukuran untuk mengukur kinerja investasi pemegang
saham. Dividen tunai yang dibagikan itu hanya sebagian kecil dari keuntungan
yang diraih oleh perusahaan. Laba bersih yang tidak (belum) dibagikan sebagai
dividen tetap menjadi milik para pemegang saham. Akan lebih obyektif apabila
penilaian itu menggunakan RoE yang diraih pemegang saham atas investasinya di
suatu perusahaan.
Lebih jelasnya bahwa laba bersih yang
tidak dibagikan sebagai dividen tunai adalah modal baru milik para pemegang
saham yang didapatkan dari keuntungan perusahaan yang kemudian ditanamkan kembali di perusahaan untuk digunakan sebagai modal pengembangan
usaha sehingga laba bersih yang bisa didapatkan di masa depan akan lebih besar
lagi. Dalam kasus Pak Hendri, selain menerima pembagian laba bersih dalam
bentuk dividen tunai sebesar Rp85.000.000,00, Pak Hendri menginvestasikan
kembali sisa perolehan pembagian laba bersih yang diterimanya sebesar Rp745.507.705,68 ke dalam perusahaan.
Dengan begitu, ekuitas Pak Hendri di EKAD tentu saja meningkat.
Perlu diingat juga, bahwa besaran yield
dividen itu berkorelasi juga dengan harga saham yang dibeli. Sebagai contoh,
RoE PT. Unilver Indonesia Tbk (UNVR) hampir selalu 100% bahkan lebih dan
dividen payout ratio (DPR)-nya juga selalu hampir 100% (hampir seluruh laba
bersih UNVR dibagikan sebagai dividen tunai), namun jika pada harga saat ini anda
membelinya dimana harga saham sudah berpuluh kali lipat dari nilai bukunya,
maka yield dividen yang anda terima akan kecil sekali.
Harga saham UNVR yang anda
beli saat ini (misalnya) Rp45.400,00 per lembar, dan dividen yang dibagikan Rp915,00
per lembar, meski DPR dividen UNVR sebesar 99,67% dari EPS, namun yield dividen yang
anda terima hanya sebesar 2,02%. Lain halnya jika anda sudah lama mempunyai
saham UNVR pada harga (mislanya) Rp5.000,00 per lembar, maka yield dividen yang
anda terima sebesar 18,30%. Intinya besaran yield dividen berkorelasi dengan
harga saham yang anda beli, dan di situlah pentingnya membeli saham pada harga
yang sedang terdiskon (undervalue) dalam sebuah kegiatan investasi.
Gambar : google image |
Berapa pertumbuhan aset Pak Hendri?, terutama petumbuhan ekuitasnya, berapa persen yang bisa diraihnya dalam rentang waktu selama 2 tahun 9 bulan menjadi pemilik EKAD?.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal
III 2018 (bulan September 2018), aset EKAD sebesar Rp857.844.536.377,00 tediri dari
ekuitas (modal/kekayaan bersih) sebesar Rp725.806.486.437,00 dan liabilitas (kewajiban/utang) sebesar Rp132.038.049.940,00.
Dengan ekuitas sebesar itu maka nilai buku EKAD kini sebesar Rp1.038,68 per
lembar saham, dan dengan liabilitas tersebut, melekat kekayaan yang berasal
dari utang sebesar Rp188,96 pada setiap lembar saham EKAD. Oleh karena itu aset
(nilai kekayaan kotor) setiap lembar saham EKAD adalah sebesar Rp1.227,64.
Dengan aset setiap lembar saham EKAD sebesar
Rp1.227,64, maka aset Pak Hendri di EKAD adalah sebesar (Rp1.227,64 x 2.500.000
lembar) = Rp3.069.101.414,54, terdiri dari nilai kekayaan bersih (ekuitas) sebesar
(Rp1.038,68 x 2.500.000 lembar) = Rp2.596.710.265,95 dan kekayaan yang berasal
dari utang (liabilitas) sebesar Rp472.391.148,58, sehingga aset (kekayan kotor) mencapaisebesar Rp3.069.101.414,54.
Bandingkan dengan modal awal yang
dikeluarkan oleh Pak Hendri pada saat awal membeli EKAD, hanya dengan
Rp1.000.000.000,00, tapi kini kekayaan bersihnya di EKAD telah meinngkat menjadi
sebesar Rp2.596.710.265,95 hanya dalam waktu 2 tahun 9 bulan. Bagaimana, cukup menarik bukan?
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.
0 komentar
EmoticonEmoticon