MEMILIH SEKTOR INDUSTRI
(serial
tulisan untuk Pemula)
Pada saat kita melakukan investasi saham, tentu saja kita bermaksud
hendak melipatgandakan aset yang kita miliki saat ini. Harapannya adalah di
masa yang akan datang (saat kita tidak lagi produktif bekerja) aset kita telah
berkembang dan cukup untuk bekal menikmati hidup yang mana hari-hari kita nanti
diisi dengan bermain bersama cucu (incu) atau cicit (buyut).
Meski dalam hal tertentu investasi di saham bisa mendatangkan
keuntungan berlipat dalam waktu yang relatif singkat, namun tidak jarang pula kita
temukan bahwa untuk mencapai keuntungan yang besar memerlukan waktu yang
panjang dan butuh kesabaran yang lebih.
Pergerakan harga saham sangat dinamis mengikuti perkembangan
kondisi makro dan mikro perekonomian serta kinerja usaha emiten atau pengaruh
global. Hal ini kadang membuat kita tidak mudah dalam memilih saham emiten yang
tepat (yang akan menguntungkan) yang tersebar di 9 sektor usaha/industri di
Bursa Efek Indonesia.
Gambar : google image |
Data di bawah ini mudah-mudahan berguna dan membantu kita dalam menentukan sektor mana yang akan kita prioritaskan dalam memilih dan memilah saham “yang dapat diandalkan” untuk membuat aset kita berkembang dan sehat.
Apabila investasi saham kita perkembangannya kurang lebih
sejajar dengan tingkat kenaikan JKSE, maka aset kita semula di akhir tahun 2006
sejumlah Rp100.000.000,00 telah bertambah sejumlah Rp193.362.023,13 sehingga telah
berkembang menjadi sejumlah Rp293.362.023,13 di akhir tahun 2016.
Apakah memang demikian? belum tentu. Karena JKSE adalah
gabungan dari 9 sektor usaha/industri yang perkembangannya dalam 10 tahun
terakhir ini berbeda-beda. Perkembangan masing-masing sektor dapat dilihat pada
tabel di bawah ini :
Pada tabel di atas tampak bawa sektor konsumsi (JKCONS)
tumbuh paling tinggi diantara sektor lainnya yakni sebesar 492,23% dalam 10
tahun (rata-rata 49,22%/tahun). Jika investasi saham sektor konsumsi yang kita miliki
kurang lebih disejajarkan dengan tingkat kenaikan JKCONS, maka aset kita di
akhir tahun 2016 telah menjadi sejumlah Rp592.233.603,42 dari semula di akhir
tahun 2006 sejumlah Rp100.000.000,00.
Berbeda dengan JKCONS, pada periode ini sektor infrastruktur
(JKINFA) malah tumbuh paling rendah. Return yang diberikan hanya sebesar 36,80%
dalam 10 tahun (rata-rata 3,68%/tahun). Aset awal Rp100.000.000,00 berkembang
hanya menjadi sejumlah Rp136.801.793,63.
Return investasi di JKINFA ini lebih rendah dibanding angka
inflasi tahunan di negara kita. Selain JKINFA, sektor lain yang pertumbuhannya
tidak lebih baik dari angka inflasi tahunan adalah sektor pertanian (JKAGRI)
yang tumbuh rata-rata hanya 5,30%/tahun dan sektor perdagangan (JKTRADE) yang
rata-rata peningkatannya hanya 4,84%/tahun, sebagaimana data pada tabel di
bawah ini.
Tapi masa iya ketiga sektor usaha/industri di atas tadi hanya
tumbuh rendah selama itu? Ya betul, jika kita memegang saham di ketiga sektor
tadi selama 10 tahun berturut-turut, tanpa menjualnya sekali pun. Ceritanya akan
lain jika kita melihat data volatilitas rata-rata harga tahunan sektor, yang mana
ketiga sektor ini pernah tumbuh bahkan lebih dari 100%.
Oleh karena itu kita pun mesti ingat bahwa dalam berinvestasi,
selain butuh waktu yang panjang, kita pun mesti menghitung ulang valuasi saham
secara periodik (misalnya setap kuartal), terutama saat harga saham mengalami
kenaikan yang sangat signifikan. Meski investasi kita baru 1 atau 2 tahun di
suatu saham, namun jika harganya di market telah jauh naik lebih tinggi dari
harga wajarnya (overvalued), maka saat itu kita sudah harus mempertimbangkan untuk
menjualnya.
Pengecualian dari ini adalah saham-saham di sektor konsumsi
(karena katanya tahan banting dalam berbagai kondisi perekonomian sehingga
harganya cenderung naik terus) yang akan dibahas berikutnya di bagian bawah
nanti.
Bagaimana dengan volatilitas tahunan sektor usaha/industri? Kita
asumsikan bahwa kita berinvestasi dengan modal awal (ekuitas) sejumlah
Rp100.000.000,00. Kita lihat tabel JKAGRI di bawah ini :
Puncak kenaikan saham-saham sektor pertanian (JKAGRI) terjadi
pada tahun 2007 (124,95%) dan turun drastis setahun berikutnya pada tahun 2008
(-66,48%) yang merupakan tahun penurunan terendah hingga saat ini (2016). Ekuitas
kita pada akhir tahun 2007 yang sudah mencapai Rp224.954.655,50 dari equitas
awal Rp100.000.000,00 pada akhitr tahun 2006 turun drastis tersisa hanya
Rp75.404.817,60. Meski kemudian pertumbuhan harga kembali mengalami kenaikan,
namun hingga akhir tahun 2016 kenaikannya belum bisa melewati angka kenaikan
pada tahun 2007.
Berikutnya
adalah JKMING,
Sektor pertambangan (JKMING) mengalami puncak kenaikan pada
tahun 2007 (251,54%) dan turun drastis setahun berikutnya pada tahun 2008
(-73,25%) yang merupakan tahun penurunan terendah hingga saat ini. Ekuitas kita
pada akhir tahun 2007 yang sudah mencapai Rp351.536.095,84 turun drastis
tersisa hanya Rp94.049.570,84.
Meski kemudian pertumbuhan harga kembali mengalami kenaikan,
namun pada akhir tahun 2015, terjadi kembali penurunan yang membuat ekuitas
kita turun paling rendah dalam kurun waktu 10 tahun tersebut. Puncak kenaikan
tertinggi ekuitas kita dalam kurun waktu ini terjadi di tahun 2007.
Selanjutnya JKBIND,
Sektor industri dasar (JKBIND) mengalami penurunan terdalam
pada tahun 2008 (42,60%), tetapi setahun kemudian mengalami puncak kenaikan yakni
tahun 2009 (102,93%). Namun demikian puncak kenaikan ekuitas kita justru terjadi
pada tahun 2014 mencapai sejumlah Rp369.592.114,21.
Berikutnya kita lihat volatilitas rata-rata harga di sektor
aneka industri (JKMISC) dengan data pada tabel di bawah ini.
Sektor aneka industri (JKMISC) mengalami penurunan terdalam
pada tahun 2008 (54,18%), tetapi setahun kemudian mengalami puncak kenaikan
yakni tahun 2009 (179,83%). Namun demikian puncak kenaikan ekuitas kita justru baru
terjadi pada tahun 2016 mencapai sejumlah Rp552.406.093,83.
Bagaimana dengan sektor konsumsi (JKCONS)? Ini dia datanya;
Pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 2008, semua sektor
terimbas, tak terkecuali JKCONS. Terjadi penurunan pada tahun 2008 (24,96%),
tetapi setahun kemudian mengalami puncak kenaikan yakni tahun 2009 (105,39%).
Namun demikian puncak kenaikan ekuitas kita justru baru terjadi pada akhir tahun
2016 mencapai sejumlah Rp592.233.603,42.
Tahun-tahun selanjutnya pertumbuhan JKCONS terus meningkat (lihat
increase - kolom hijau), meski terjadi penurunan (lihat decline - kolom
kuning), namun penurunannya tidak signifikan (5,19%), dan ekuitas kita pun
tetap jauh lebih tinggi dibanding ekuitas awal di akhir tahun 2006.
Pada tahun 2008, penurunan di bursa saham terjadi begitu
drastis. Namun kalau kita perhatikan, penurunan JKCONS pada saat krisis
tersebut hanya sebesar (-24,96%), jauh lebih kecil daripada penurunan di
sektor-sektor lainnya. Bahkan penurunannya masih di bawah penurunan JKSE. Besarnya
tingkat penurunan sektor pada saat krisis tahun 2008 dapat kita lihat pada
tabel di bawah ini :
Selanjutnya adalah JKPROP,
Sektor properti dan konstruksi (JKPROP) mengalami penurunan
terdalam pada tahun 2008 (58,73%), meski tahun-tahun berikutnya kembali bisa
bangkit, namun puncak kenaikan baru terjadi pada masa kampanye pemilihan
presiden tahun 2014 (55,76%), sekaligus menjadi puncak kenaikan ekuitas kita
mencapai sejumlah Rp427.033.843,15. Pada saat kampanye pemilihan presiden
tersebut, saham konstruksi memang tampak seksi, dan hal ini yang mendorong
pergerakan harganya terlihat elok.
Lalu bagaimana dengan JKINFA? Ini dia datanya,
Meski issu pembangunan infrastruktur pada saat kampaye
pemilihan presiden tahun 2014 merupakan salah satu tending topic, tapi
pergerakan harga saham-saham di JKINFA belum begitu terasa. Kenaikannya hanya
sebesar 24,71%, masih kalah dengan kenaikan pada saat tahun 2009 (48,57%).
Namun demikian tahun 2014 ini adalah puncak kenaikan ekuitas kita mencapai
sejumlah Rp150.369.352,79.
Terus JKFINA bagaimana? Datanya di bawah ini,
Meski pada tahun 2008 itu adalah krisis akibat runtuhnya
lembaga-lembaga keuangan di USA dan Eropa, tapi pengaruhnya tidak seberapa
besar terhadap lembaga-lembaga keuangan di Indonesia. Data menunjukan bahwa
penurunan di sektor ini hanya sebesar 32,67%, yang mana setahun kemudian yakni
tahun 2009 malah rebound lebih dari 2 kali lipat (70,94%).
Namun demikian puncak kenaikan tertinggi ekuitas kita justru
baru terjadi di tahun 2016 mencapai sejumlah Rp393.033.838,41. Kalau kita
cermati, meskipun emiten penghuni di sektor ini adalah lembaga-lembaga
keuangan, namun peningkatan ekuitas kita di JKFINA dalam kurun waktu 10 tahun
ini masih kalah jika dibandingkan dengan di JKCONS atau JKMISC.
Kemudian JKTRAD, berikut ini:
Sektor perdagangan (JKTRADE) mengalami penurunan terdalam
pada tahun 2008 (61,78%), tetapi setahun kemudian mengalami puncak kenaikan
yakni tahun 2009 (85,91%). Namun demikian puncak kenaikan ekuitas kita justru baru
terjadi pada tahun 2014 mencapai sejumlah Rp319.408.899,23.
Uraian di atas menunjukan bahwa volatilitas harga rata-rata tahunan
sektor usaha/industri di Bursa Efek Indonesia dalam kurun waktu 2007-2016 itu beragam,
tidak sama, satu sama lain berbeda-beda. Kembali ke konteks menghitung ulang
valuasi saham secara periodik di atas, dalam mengantisipasi volatilitas harga
inilah gunanya kegiatan tersebut.
Selanjutnya kita lihat data di bawah ini;
Data di atas menunjukan bahwa rata-rata
peningkatan ekuitas kita dengan asumsi ekuitas awal kita Rp100.000.000,00 jika
dibandingkan dengan peningkatan ekuitas JKSE yang meningkat menjadi sejumlah Rp293.362.023,13
(jika kita tetap hold selama 10 tahun tanpa sekali pun menjualnya), maka akan
kita dapati sektor yang peningkatan ekuitasnya lebih tinggi dari JKSE, namun ada
juga yang lebih rendah dari JKSE.
Sektor yang peningkatan ekuitsnya lebih rendah
dari JKSE adalah JKAGRI, JKMING, JKINFA, dan yang lebih tinggi daripada JKSE
adalah JKBIND, JKMISC, JKCONS, JKPROP, JKFINA, JKTRAD, dengan peningkatan
tertinggi diraih oleh JKCONS.
Apa artinya? Bahwa JKCONS relatif lebih tahan
banting di banding sektor lainnya, dan pertumbuhan JKCONS ini relatif stabil
dengan kecenderungan terus meningkat. Maka dari itu JKCONS bisa dipertimbangkan
sebagai sarana untuk berinvestasi jangka panjang. (#disclamieron).
Kita lanjut dengan melihat data pada tabel di bawah ini,
Pada tabel di atas tampak bahwa saat JKSE naik
(incerase) tahun 2007, 2009, 2016, seluruh sektor ikut naik juga. Saat JKSE
turun (decline) tahun 2008 dan 2015, seluruh sektor ikut turun juga. Namun di
tahun-tahun lainnya ada beberapa anomali, sebagai beikut:
Tahun 2010 JKSE naik, tapi JKPROP malah turun (kita
sebut saja anomali negatif ya).
Tahun 2011 JKSE naik, tapi JKAGRI, JKMING,
JKINFA, JKFINA malah turun (anomai negatif).
Tahun 2012 JKSE naik, tapi JKAGRI dan JKMING
malah turun (anomali negatif).
Tahun 2013 JKSE turun, tapi JKAGRI, JKCONS,
JKPROP, JKINFA, JKTRADE malah naik (anomali positif).
Tahun 2014 JKSE naik, tapi JKMING malah turun
(anomali negatif).
Sektor yang beranomali dengan JKSE namun
anomalinya selalu positif adalah JKCONS dan JKTRADE. Sektor yang selalu
beranomali negatif adalah JKMING dan JKFINA. Sektor yang beranomali positif
sekaligus pernah juga beranomali negatif adalah JKAGRI, JKPROP dan JKFINA.
Sektor yang tidak pernah beranomali (seiring sejalan dengan JKSE) adalah JKBIND
dan JKMISC. (mohon dikoreksi kalau saya salah lihat).
Selanjutnya adalah, bagaimana dengan proyeksi pertumbuhan
untuk 10 tahun ke depan (2017-2026)? Bisa saja data rata-rata petumbuhan 10
tahun terakhir ini (2007-2016) dijadikan acuan untuk menghitung proyeksi
pertumbuhan selanjutnya.
Berdasarkan perhitungan proyeksi ke depan seperti
di atas, mudah-mudahan didapat sektor pilihan yang menurut kita prospektif. Kemudian
pertanyaannya adalah saham apa yang mesti dipilih disektor pilihan tersebut? Bisa
saja kita teliti masing-masing saham di sektor tersebut, tapi yang paling
mendekati biasanya adalah saham emiten yang jadi pemimpin sektor (big cap di
sektornya).
Atau anda punya metoda perhitungan lain? Kalau
iya, maka yakinilah hitungan anda, percayailah dia, kemudian gunakanlah !
selamat berinvestasi.
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.
0 komentar
EmoticonEmoticon